Banyak kalangan prihatin dengan kondisi krisis global yang diperkirakan akan berlangsung 5-10 tahun ke depan yang dipicu oleh krisis ekonomi Amerika Serikat yang kemudian berimbas ke seluruh dunia. Dalam menangani krisis ini berbagai kebijakan dan stimulus finansial dan moneter diluncurkan oleh pemerintahan berbagai negara tidak terkecuali Indonesia, di mana semua pihak harap-harap cemas menunggu kemujaraban berbagai langkah tersebut. Merunut ke belakang, krisis yang dialami Indonesia ini merupakan kali kedua setelah terjadinya krisis Asia Tenggara pada tahun 1997-1998 yang berlangsung sampai saat ini. Akibat krisis 1997-1998 tersebut Indonesia yang semula diramalkan akan menjadi salah satu macan Asia terpuruk dan paling terbelakang dalam melakukan recovery dibandingkan dengan Malaysia, Singapura, Thailand dan negara lain.
Pokok permasalahan dari kedua krisis besar yang melanda dunia dan khususnya Indonesia tersebut diakibatkan oleh perilaku economic animal yang serakah, tidak mengindahkan etika bisnis, budaya konsumerisme, ditambah dengan lemahnya kepemimpinan pada berbagai level pemerintahan, organisasi maupun perusahaan. Singkat kata dapat dikatakan character building yang pernah dicanangkan founding father dan seharusnya menjadi soko guru perkembangan bangsa dan negara, tidak terbentuk sebagaimana mestinya. Krisis yang semula hanya menyangkut bidang ekonomi berkembang menjadi krisis multi dimensi yang menggerus moral, tatanan kehidupan dan nilai-nilai yang diacu dan dijalankan masyarakat.
Pembangunan karakter bangsa yang menyangkut kejujuran, emphaty, kesabaran, ketabahan, kreativitas, daya juang, kepeloporan, keikhlasan, fairness dalam berkompetisi, dan nasionalisme akhirnya disadari oleh banyak kalangan merupakan prioritas yang tak dapat ditawar lagi untuk dapat segera dibenahi dalam rangka mengatasi krisis multi dimensi tersebut dan mendukung daya saing bangsa. Sebagai masyarakat paternalistik, di mana contoh merupakan hal yang paling efektif dalam proses memberikan kesadaran dan pembelajaran, maka film merupakan salah satu media yang diyakini akan memberikan pengaruh yang signifikan. Di tengah langkanya film nasional yang berkualitas yang mengetengahkan pembangunan karakter bangsa tersebut, alumni ITB angkatan 81 tergerak untuk menjadi pelopor dengan mempersembahkan film yang berjudul 3G (Gading-Gading Ganesha). Bekerjasama dengan berbagai kalangan yang terdiri dari alumni ITB berbagai angkatan yang berkiprah di berbagai bidang usaha, pemerintahan, seni dan budaya serta para praktisi perfilman nasional, film 3G diharapkan dapat menjadi oase bagi pemenuhan dahaga akan kesuritauladanan segenap lapisan masyarakat.
Film 3G tidak dimaksudkan sebagai sebuah propaganda atau biografi tokoh tertentu dan tidak mengusung tendensi apapun tetapi lebih fokus pada aspek kejuangan dengan memotret perjalanan hidup sekelompok anak manusia yang sabar, ulet, tekun, dan tabah dalam mengejar cita-cita dan kesadaran untuk berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Film ini juga tidak mendudukkan tokoh-tokohnya sebagai superhero yang luput dari cacat-cela dan kelemahan sebagai manusia. Latar belakang ITB dalam film ini dimaksudkan untuk mengambil spirit dari salah satu universitas terbaik di Indonesia, di mana dengan lingkungan pendidikan yang kondusif dan komprehensif, kualitas mahasiswa dan dosen yang tinggi, serta interaksi yang dibangun dengan pihak luar yang begitu intens merupakan kekuatan utama dalam menunjang pembangunan watak lulusan yang dihasilkan. Setting ITB hanya merupakan sebuah kebutuhan penceritaan, kisah-kisah yang dialami dan dipaparkan dalam film ini dapat terjadi di mana saja di dunia dan setting tahun kejadian dapat digeneralisir dari generasi ke generasi. Akhirnya, film 3G diproduksi sebagai persembahan cinta alumninya untuk ulang tahun ITB yang ke lima puluh dan insya Allah dapat memantik api semangat di dada seluruh anak bangsa menuju kesejahteraan bersama. Biar bumi berguncang, kau tetap Indonesiaku!
Pokok permasalahan dari kedua krisis besar yang melanda dunia dan khususnya Indonesia tersebut diakibatkan oleh perilaku economic animal yang serakah, tidak mengindahkan etika bisnis, budaya konsumerisme, ditambah dengan lemahnya kepemimpinan pada berbagai level pemerintahan, organisasi maupun perusahaan. Singkat kata dapat dikatakan character building yang pernah dicanangkan founding father dan seharusnya menjadi soko guru perkembangan bangsa dan negara, tidak terbentuk sebagaimana mestinya. Krisis yang semula hanya menyangkut bidang ekonomi berkembang menjadi krisis multi dimensi yang menggerus moral, tatanan kehidupan dan nilai-nilai yang diacu dan dijalankan masyarakat.
Pembangunan karakter bangsa yang menyangkut kejujuran, emphaty, kesabaran, ketabahan, kreativitas, daya juang, kepeloporan, keikhlasan, fairness dalam berkompetisi, dan nasionalisme akhirnya disadari oleh banyak kalangan merupakan prioritas yang tak dapat ditawar lagi untuk dapat segera dibenahi dalam rangka mengatasi krisis multi dimensi tersebut dan mendukung daya saing bangsa. Sebagai masyarakat paternalistik, di mana contoh merupakan hal yang paling efektif dalam proses memberikan kesadaran dan pembelajaran, maka film merupakan salah satu media yang diyakini akan memberikan pengaruh yang signifikan. Di tengah langkanya film nasional yang berkualitas yang mengetengahkan pembangunan karakter bangsa tersebut, alumni ITB angkatan 81 tergerak untuk menjadi pelopor dengan mempersembahkan film yang berjudul 3G (Gading-Gading Ganesha). Bekerjasama dengan berbagai kalangan yang terdiri dari alumni ITB berbagai angkatan yang berkiprah di berbagai bidang usaha, pemerintahan, seni dan budaya serta para praktisi perfilman nasional, film 3G diharapkan dapat menjadi oase bagi pemenuhan dahaga akan kesuritauladanan segenap lapisan masyarakat.
Film 3G tidak dimaksudkan sebagai sebuah propaganda atau biografi tokoh tertentu dan tidak mengusung tendensi apapun tetapi lebih fokus pada aspek kejuangan dengan memotret perjalanan hidup sekelompok anak manusia yang sabar, ulet, tekun, dan tabah dalam mengejar cita-cita dan kesadaran untuk berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Film ini juga tidak mendudukkan tokoh-tokohnya sebagai superhero yang luput dari cacat-cela dan kelemahan sebagai manusia. Latar belakang ITB dalam film ini dimaksudkan untuk mengambil spirit dari salah satu universitas terbaik di Indonesia, di mana dengan lingkungan pendidikan yang kondusif dan komprehensif, kualitas mahasiswa dan dosen yang tinggi, serta interaksi yang dibangun dengan pihak luar yang begitu intens merupakan kekuatan utama dalam menunjang pembangunan watak lulusan yang dihasilkan. Setting ITB hanya merupakan sebuah kebutuhan penceritaan, kisah-kisah yang dialami dan dipaparkan dalam film ini dapat terjadi di mana saja di dunia dan setting tahun kejadian dapat digeneralisir dari generasi ke generasi. Akhirnya, film 3G diproduksi sebagai persembahan cinta alumninya untuk ulang tahun ITB yang ke lima puluh dan insya Allah dapat memantik api semangat di dada seluruh anak bangsa menuju kesejahteraan bersama. Biar bumi berguncang, kau tetap Indonesiaku!
2 komentar:
Semoga sukses...!
sip, ditunggu filmnya.
Posting Komentar